Sedih sekali membaca status FB seorang keponakan yang kecewa pada keputusan pemerintah untuk menaikkan pajak impor film hingga ia ingin cepat- cepat keluar dari Indonesia. Sebenarnya saya pun merasa lebih indah jika pemerintah sebelum membuat kebijakan seyogyanya mensosialisasikan terlebih dahulu pada masyarakat, melalui diskusi dan lain - lain.
Kembali ke persoalan..hilangnya film holywood dari peredaran...sejujurnya saya tidak terlalu bersedih hati. Don't get me wrong..saya pencinta film2 keluaran mereka spt Pretty woman, You've Got Mail dan Avatar. Film- film tersebut menginspirasi dan termasuk film yang saya tonton berulang - ulang.
Akan tetapi, saya ingat sewaktu saya kecil, bioskop kita penuh oleh film - film Indonesia yang bermutu seperti Naga Bonar dan lain - lain. Ajang Piala Citra benar - benar bergengsi kala itu. Entah kenapa di tahun 1990an, perfilman Indonesia mati suri, terakhir yang saya ingat bertahan di bioskop hanya film - film komedi seperti Kanan Kiri OK atau Kejarlah Daku Kau Kutangkap.
Entah rumor ini benar atau tidak, tapi saya pernah dengar masuknya film- film Holywood kala itu adalah hasil barter pemerintahan, ketika Indonesia berniat mengekspor textil atau apalah tapi terhambat proteksi USA, hasilnya negosiasinya..katanya..kita boleh eksport ke US tapi film Holywood boleh banjir masuk Indonesia...(bener ga sih berita ini..tolong diluruskan kalau salah karena ketika itu saya masih terlalu kecil utk mengerti politik..hehe....mungkin cuma rumor belaka...). Yang jelas, saya masih ingat ketika itu para sutradara dan produser kelas kakap banyak sekali yang kecewa dengan keputusan itu.
Mengenai hilangnya film - film holywood di jakarta, mudah - mudahan ini menjadi langkah penting dalam kehidupan seni di Indonesia. Mudah - mudahan kita bisa bangkit dari orang - orang yang hanya duduk manis menonton film menjadi orang - orang yang berkreasi membuat film. Mudah - mudahan bukan hanya bioskop yang penuh dengan film - film produksi nasional, tapi teater kita pun penuh dengan pertunjukan - pertunjukan seni karya anak bangsa. Street performers atau pekerja seni jalanan pun harus bangkit agar kita bisa menikmati pertunjukan yang gratis tapi tetap bermutu.
Negara kita diwarisi kebudayaan luhur yang dekat dengan seni. Bangsa kita penuh dengan budaya seni yang mumpuni dari mulai lenong betawi, lakon Srimulat sampai gelar adikarya Swara Mahardika, saya masih ingat itu semua. Harapan saya, ketika saya kembali ke Indonesia nanti, pusat seni, gedung teater dan bahkan gedung Opera tumbuh subur di Indonesia (di tiap kota khususnya bukan hanya di jakarta), saya ingin anak saya, Omar bisa pergi mengunjungi teater khusus untuk anak - anak di Jakarta seperti yang dia alami di Jerman. Saya ingin setiap berkunjung ke sebuah kota di Indonesia, mengunjungi teater lokal yang menyuguhkan kebudayaan seni khas daerah tersebut menjadi tujuan utama saya, seperti layaknya nonton tari kecak di Ubud bali atau tari Sedauti di sebuah gedung opera berakustik canggih di Aceh dan lain sebagainya. Lebih banyak lagi konser - konser musik dari yang bertaraf Internasional sampai lokal (kabarnya pemusik di Jerman bayarannya paling mahal karena konser musik tidak pernah sepi pengunjung di sini.). Kalau pekerja seni dibukakan tempat untuk berkarya, negara kita akan jauh maju lebih pesat dari sekarang.
Saya ingin munculnya banyak pilihan pertunjukkan di Indonesia yang bisa dinikmati semua kalangan bukan hanya untuk orang yang berpunya saja. Saat ini rasanya seperti tidak ada pilihan lain selain pergi ke Mall untuk berekreasi atau pergi menonton bioskop adalah hiburan yang termurah untuk raga penglihatan kita..(again don't get me wrong..going on a date to cinema is by far my favorite things to do). Tapi kalo diberikan pilihan lain seperti misalnya kemarin pertunjukan teater musikal laskar pelangi, pasti masyarakat pun akan memilih yang terbaik. Atau pertunjukan - pertunjukan seni jalanan yang di gelar di taman terbuka, saya yakin tak kalah menariknya
Semua itu harapan saya, my kind of dreaming movement yang saya impikan. Semoga.
"Artists create identities for cultures and societies"
No comments:
Post a Comment